Tampilkan postingan dengan label Komentar. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Komentar. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 07 Januari 2012

Sebuah Kota Bernama Jakarta

Jakarta, bagi setiap warga Indonesia adalah sebuah kata yang unik dan memiliki sejuta arti. Telah terpatri di benak kita bahwa, kata tersebut mempunyai arti simbolis yang erat kaitannya dengan kehidupan yang berlangsung di seluruh sudut tanah air. Tidak dapat dipungkiri, memang seperti itulah kenyataannya. Sebuah ibu kota, sebuah kota metropolitan, sebuah kota yang menjadi pusat segala aktivitas dan sebuah harapan. Harapan bagi jutaan manusia yang tinggal di dalamnya. Saya dalam satu bulan terakhir ini ikut bergabung dalam rombongan orang-orang itu, yang menyebut dirinya sebagai pangais harapan. Banyak sekali kesan yang saya dapatkan dalam waktu satu bulan ini terhadap Jakarta. Baik itu kesan yang sifatnya positif maupun kesan yang sifatnya negatif. Akan saya bahas kesan-kesan yang saya dapatkan tersebut di bawah ini.
Salah Satu Panoram Kota Jarkarta "Monas"

Tanah tak bertuan; salah satu kesan yang saya dapatkan di kota ini adalah, kota ini identik dengan kekacauan. Sebauh terminologi yang bertolak belakang dengan pemahaman banyak orang. Banyak sekali yang membuat kota ini seolah-olah tidak bertuan, berkembang dan tumbuh dengan sendirinya. Jalan-jalan yang luar biasa kacau, rumah kumuh berdampingan dengan gedung-gedung mewah, orang-orang yang memenuhi jalan dan berjalan seenak hatinya. Kesan ini juga yang muncul ketika pertama kali aku menginjakkan kakiku di kota ini. Sungguh luar biasa, bagaimana sebuah kota yang begitu penting dalam satu waktu dapat begitu kacau. Aku membayangkan kota-kota penting lain di dunia. Mereka mempunyai akomodasi luar biasa masing-masing. Dan kota ini tak mempunyai apa-apa dibandingkan dengan kota-kota tersebut. Namun di sinilah tumpuan jutaan manusia Indonesia berada. Mengapa kota ini lambat dalam pengembangan dan pengaturannya? Aku belum mempunyai jawaban atas hal tersebut.


Selasa, 06 September 2011

Indonesia, Dianatara Nasionalisme dan Kebodohan

Dalam pertandingan Indonesia melawan Bahrain untuk kualifikasi pra piala dunia, Indonesia kalah 2-0 di kandang sendiri. Namun, itu bukanlah hal yang menjadi sorotan utama. Kekalahan semacam itu wajar saja mengingat ranking kita berada di bawah Bahrain menurut FIFA. Yang menjadi sorotan utama adalah ketidak supportifan sporter timnas Indonesia yang memenuhi stadion utama Glora Bung Karno. Mereka seakan marah karena timnas harapan mereka tidak dapat meraih hasil yang mereka harapkan. Tidak hanya itu, di dalam social mediapun beredar macam-macam argumentasi, celaan, cercaan walaupun ada pula dukungan dan pemberi semangat. 
 


Di sinilah letak kelemahan kita, kita bukanlah bangsa yang dapat dikatakan loyal. Loyal terhadap pemimpinnya, loyal terhadap negerinya dan bahkan loyal terhadap bangsanya sendiri. Kita selalu menyalahkan orang lain, menganggap bahwa apabila kita bisa berkomentar, maka kita telah menjadi orang yang luar biasa baik. Namun apakah memang seperti itu? Itu hanya menunjukan bahwa kita bangsa yang bermental rusak. Kita selalu mengelu-elukan nasionalisme. Tapi apakah kita tahu bentuk nasionalisme yang kita teriakan? Apakah itu bukan sebuah kebutaan? Ya, kita memang bangsa yang baru dalam mengenal demokrasi dan kebebasan. Namun itu bukan alasan kita menjadi orang yang arogan dan merasa menang sendiri. Di mana rasa tepo seliro yang selalu kita banggakan dulu, di mana rasa tanggung jawab kebangasaan yang dulu lekat di hati para pejuang dalam merebut kemerdekaan.

Kita tidak akan pernah menjadi besar jika masih terkukung dalam kebodohan dalam kebangsaan. Kita harus menjadi bangsa yang cerdas, tidak hanya dalam keilmuan, tapi juga dalam rasa. Semoga bangsa ini menjadi besar dengan instrospeksi diri kita. Semoga negara kita dapat bertahan selama 1000 tahun lamanya..