Selasa, 06 September 2011

Indonesia, Dianatara Nasionalisme dan Kebodohan

Dalam pertandingan Indonesia melawan Bahrain untuk kualifikasi pra piala dunia, Indonesia kalah 2-0 di kandang sendiri. Namun, itu bukanlah hal yang menjadi sorotan utama. Kekalahan semacam itu wajar saja mengingat ranking kita berada di bawah Bahrain menurut FIFA. Yang menjadi sorotan utama adalah ketidak supportifan sporter timnas Indonesia yang memenuhi stadion utama Glora Bung Karno. Mereka seakan marah karena timnas harapan mereka tidak dapat meraih hasil yang mereka harapkan. Tidak hanya itu, di dalam social mediapun beredar macam-macam argumentasi, celaan, cercaan walaupun ada pula dukungan dan pemberi semangat. 
 


Di sinilah letak kelemahan kita, kita bukanlah bangsa yang dapat dikatakan loyal. Loyal terhadap pemimpinnya, loyal terhadap negerinya dan bahkan loyal terhadap bangsanya sendiri. Kita selalu menyalahkan orang lain, menganggap bahwa apabila kita bisa berkomentar, maka kita telah menjadi orang yang luar biasa baik. Namun apakah memang seperti itu? Itu hanya menunjukan bahwa kita bangsa yang bermental rusak. Kita selalu mengelu-elukan nasionalisme. Tapi apakah kita tahu bentuk nasionalisme yang kita teriakan? Apakah itu bukan sebuah kebutaan? Ya, kita memang bangsa yang baru dalam mengenal demokrasi dan kebebasan. Namun itu bukan alasan kita menjadi orang yang arogan dan merasa menang sendiri. Di mana rasa tepo seliro yang selalu kita banggakan dulu, di mana rasa tanggung jawab kebangasaan yang dulu lekat di hati para pejuang dalam merebut kemerdekaan.

Kita tidak akan pernah menjadi besar jika masih terkukung dalam kebodohan dalam kebangsaan. Kita harus menjadi bangsa yang cerdas, tidak hanya dalam keilmuan, tapi juga dalam rasa. Semoga bangsa ini menjadi besar dengan instrospeksi diri kita. Semoga negara kita dapat bertahan selama 1000 tahun lamanya..

Minggu, 22 Mei 2011

Nasionalisme Ala Diktaktor


Selama bertahun-tahun, kita sselalu menganggap bahwa kediktaktoran adalah musuh besar peradaban. Kita selalu menganggap bahwa diktaktor adalah sesuatu yang jauh dari perikemanusiaan, kejam dan tidak mempunyai moral sama sekali. Namun benarkah demikian? Lalu apa itu diktaktor? Bukankah Ceasar juga menyebut dirinya sebagai diktaktor dan bahkan dialah yang meletakan dasar kepemimpinan diktatorisme selama lebih dari ratusan tahun sebagai pilar kekaisaran romawi? Itulah yang kita patut pertanyakan, apakah kita benar-benar membenci kediktaktoran atau kita hanya berhalusianasi bahwa kediktaktoran akan membawa sebauah bencana yang tidak berkesudahan?

Diktaktorisme artinya orang yang memberikan dikte atau perintah. Lebih tepatnya orang yang memerintah. Secara sederhana demikian, walaupun ada lebih banyak lagi pengertian yang jauh lebih baik daripada sebuah kalimat singkat itu. Selama sejarah manusia, telah lebih dari ratusan orang menjadi diktaktor; Alexander, Caesar, Napoleon, Hitler dan masih banyak lagi. Banyak diantara mereka hanya mempunyai motivasi untuk mempertahankan kekuasaan mereka. Lebih banyak lagi hanya tertarik dalam memperkaya diri dan keluarga mereka. Hanya sedikit diantara mereka yang memiliki motivasi lain, yang jauh dari pemikiran sederhanan yang tiada guna, orang-orang yang kusebut diatas adalah beberapa contoh diantaranya. Mereka adalah orang-orang unik, yang memandang dunia dari cara yang berbeda. Pemikiran mereka yang unik itulah yang nantinya merubah dunia untuk selama-lamanya.